Tuesday, 03.19.2024,

Daftar Menu
Beri Rating
Rate my site
Total of answers: 7
Online

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0
Masuk
Kumpulan Postingan
Daftar Tulisan
  • Jangan Ngaku gaul kalau Ga punya Blog!
  • Remaja Indonesia dalam Percaya Dirinya, Nalarnya, Wawasannya dan Mimpi-mimpinya
  • Kunci Jawaban? Say No!
  • PNS: Pelayanan Buruk, Citra Makin Terpuruk
  • Waspada Metode Penipuan Baru Oknum Salesman Home Appliances!
  • Apa itu blog?
  • Search
    Calendar
    «  March 2024  »
    SuMoTuWeThFrSa
         12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31

    Waspada Metode Penipuan Baru Oknum Salesman Home Appliances!

    Sungguh, saya tidak menyangka apa yang saya temukan usai berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Cibubur, Jakarta, Selasa (10/04/2011) lalu. Benar-benar penipuan yang tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Pada sore hari tepatnya sekitar pukul 16:00, saya tengah berbelanja bersama Oma di supermarket yang berada di dalam pusat perbelanjaan itu.

    Nampaknya oknum salesman berinisial HS itu tahu saya baru saja meninggalkan supermarket karena Oma saya tengah mendorong troli menuju eskalator. Dengan berpakaian rapi, senyum ramah, kemampuan berbasa-basi ala salesperson, oknum salesman tersebut menghampiri kami dan menatap saya yang kebetulan hendak mengantongi struk belanja yang panjangnya hampir satu meter itu. Sambil meminjam struk belanja saya, HS kemudian mengajak kami untuk mengambil hadiah atau suvenir. Entah, apakah kami beruntung atau akan menjadi korban hipnotis, kami tidak tahu.

    Usai melihat struk belanja saya sepintas dan menyerahkannya kepada salah seorang rekannya, saya dan Oma kemudian bergerak menuju sebuah showroom yang terletak di deretan kios bergengsi mall tersebut. Saya kira ini adalah sebuah showroom sepeda motor atau mobil, melainkan perlengkapan elektronik rumah tangga atau home appliances yang digayangi memiliki nilai lebih daripada produk lain yang sejenis dan dijual bebas di pasaran. Barang-barang yang sebenarnya tidak ingin saya koleksi, melainkan peralatan yang menjadi alasan para ibu-ibu rumah tangga membolongi kocek suaminya. Tipu daya demi tipu daya untuk membeli barang-barang jenis tersebut tidak mampu membutakan mata saya yang adalah penggila gadget dan media tools. Namun kali ini, saya harus akui bahwa saya sangat tertarik karena belum mengetahui "trik” apa yang ada di balik penjualannya.

    Oma saya kemudian diarahkan untuk duduk di sofa empuk, dan meletakkan kaki di atas alat pijat refleksi telapak kaki. Kelihatannya Oma belum sadar bahasa wajah saya yang meminta Oma untuk segera meninggalkan tempat karena badan saya sudah mulai lemas. Apalagi waktu tempuh untuk pertemuan komunitas di Blok M, Jakarta, tinggal 1 jam lagi sebelum acara dimulai. Reaksinya? Oma hanya diam dan salesman tersebut terus-terusan mengoceh.

    Gaya komunikasi yang dipakai si oknum salesman terbilang sangat membuai, apalagi bagi Oma saya. Dia keturunan Batak, namun melihat kami yang etnik Manado, lalu bahasa dan dialeknya seketika diubah. Kalau saya terjemahkan dalam bahasa anak muda, gaya ini disebut SKSD (sok kenal sok dekat). HS berkompromi bersama Oma seraya menyalakan home theatre set yang boleh saya bilang produk Tionghoa. Brand pada produk juga tidak familiar semisal Aowa dan Metrowealth. Mengapa saya katakan demikian? Saya mampu menganalisa dari bentuk, sistem operasi, brand dan juga fungsionalitasnya. Kalau di Glodok, harga untuk satu setnya tidak semahal yang mereka banderol. Sangat-sangat bersaing!

    Terbuai dengan musik yang terlantun mendayu dan ditawarkan dengan label "super canggih”, Oma saya kemudian menanyakan harga produk tersebut. Saya lihat di label dengan seksama dan melihat harga jualnya. Rp. 15 juta. Deg! Jantung saya langsung berdegup. Memang menarik harganya untuk perangkat home theatre all in one yang mampu memutar media musik, video dan gambar dari berbagai sumber, misalnya flashdisk, handphone, kamera, iPad dan kepingan DVD. Melihat kesan instan tersebut rupanya tidak disia-siakan HS. HS meminta temannya untuk mengambil beberapa lembar kupon yang tertutup seperti PIN mailer yang kita dapat saat memperoleh kartu kredit untuk pertama kalinya. Beberapa lembar tersebut terkesan rahasia, dan Oma diminta oleh oknum yang lain untuk memilih salah satu dari beberapa kupon yang dipegangnya.

    Alhasil, Oma saya mendapatkan home theatre seperti yang dipajang di showroom dan diincar oleh Oma secara gratis sebagai hadiah. Saya tidak tahu apa maksudnya. Kemudian HS meraih gagang telepon di mejanya dan menghubungi seseorang. Tak lain dan tak bukan adalah rekan kerjanya sendiri, agar kami percaya bahwa HS seolah-olah menghubungi kantor pusat untuk konfirmasi hadiah yang Oma raih dari kupon "geje” itu.

    Dengan cara berkomunikasi yang santun, intonasi lembut serta gaya berdalih, perempuan di ujung telepon yang merupakan rekan para oknum salesman tersebut mengucapkan selamat pada Oma saya. Kepala saya menggeleng-geleng penuh heran lalu tertawa bersama dengan mereka, ya, para oknum yang gelagatnya mulai kami baca. Lantas, HS duduk di sebelah Oma dan menerangkan bahwa hadiah itu bisa dibawa pulang dengan beberapa syarat. Oma kemudian paham dan bermain bahasa mata dengan saya.

    Syarat yang pertama, Oma diminta untuk mempromosikan produk yang dapat diboyongnya pulang hasil undian tersebut. Barang tersebut tidak boleh disimpan atau dibiarkan saja tanpa penggunaan, dan tidak boleh dijual, alias harus dipakai sendiri di rumah. Ketika syarat berikutnya disebutkan, yakni membawa pulang hadiah tersebut dengan pembelian, saya dan Oma lantas jadi ragu.

    Para salesman menanyakan kartu pembayaran apa saja yang saya punya, dan saya akan mendapatkan poin undian tambahan yang dapat ditukarkan dengan voucher, alias mengambil satu undian untuk voucher. Saya kira voucher tersebut voucher untuk diuangkan, melainkan voucher diskon yang hanya bisa dibelanjakan di showroom mereka. Dan kartu pembayaran yang diminta untuk diperlihatkan harus berlogo Visa dan/atau MasterCard.

    Mereka mengatakan bahwa perusahaan dan/atau brand mereka bekerjasama dengan operator Visa dan MasterCard. Setahu saya, Visa International Inc. dan MasterCard Worldwide Inc., dua jaringan pembayaran elektronik terbesar, umum dan banyak digunakan di dunia, enggan bekerjasama dengan vendor, merchant, dan/atau bank-bank kecil saja. Promosi dua raksasa jaringan pembayaran elektronik ini digalakkan secara mandiri, lalu dikampanyekan melalui bank-bank sebagai ujung tombak penggunaan produk mereka secara massal.

    Inilah hal yang paling saya benci dalam proses marketing. Bukan hanya saya, mungkin juga Anda termasuk. Dalam berjualan, mereka juga "kepo”, alias ingin tahu banyak soal kondisi keuangan calon pembelinya. Karena mengetahui dua kartu masing-masing Paspor BCA dan kartu debit Visa yang saya punya adalah kartu debit (Paspor BCA juga masuk dalam jaringan debit Maestro MasterCard dan jaringan ATM Cirrus MasterCard), HS menanyakan jumlah saldo yang terdapat di masing-masing kartu yang saya punya, apakah di atas kisaran tertentu untuk menentukan apakah saya layak untuk menerima voucher diskon yang tidak berguna itu. Ini kan privasi! Oma saya juga nampak tersinggung dengan pertanyaan mereka tersebut, karena Oma saya saja tidak tahu berapa saldo yang ada di masing-masing kartu kepunyaan saya, apalagi mereka para salesman!

    Kami bergegas meninggalkan para salesman secara persuasif, artinya ada penolakan secara halus dari Oma dengan kalimat, "Wah, kalau harganya setinggi itu, kami tidak mampu menjangkaunya.” Melihat reaksi kami, HS mengantar kami hingga tiba di eskalator untuk naik ke lantai dasar, tetap dengan senyum membualnya, sementara oknum yang lain ada yang berjaga di selasar mencecar calon korban lain, ada pula yang kembali ke showroom untuk berjaga.

    Intinya, dalam hal ini, Oma hampir saja "kecele” (tertipu). Nampak secara detil dari kalimat per kalimat yang diucapkan para oknum salesman, dengan kesan bahwa hadiah tersebut diperoleh secara cuma-cuma dari supermarket tempat kami belanja, Oma saya kemudian terbujuk rayu. Oleb sebabnya, ada beberapa pelajaran penting dari kejadian yang menimpa kami kemarin, juga tips penting dan menarik untuk Anda agar tidak menjadi korban penipuan sama seperti kami.

    Pertama: Segeralah beranjak seusai berbelanja dari supermarket. Ini adalah gaya super cuek yang paling saya suka, seakan tidak peduli pada para salesman yang berjejal di hadapan saya hanya untuk berbasa-basi berbata-bata. Hal ini penting untuk efisiensi waktu dan biaya.

    Kedua: Hindari kontak mata langsung dan kontak fisik berlebihan. Meskipun hal ini membuat saya dicap sebagai "anak dengan kebutuhan khusus” dengan senantiasa menunduk di hadapan mereka ketika berkomunikasi, namun saya melakukannya untuk menghindari tindak kejahatan hipnotis. Jagalah pikiran Anda dengan penuh kewaspadaan, dan yang terpenting dari semuanya adalah jangan sampai pikiran Anda terbuai dan/atau kosong.

    Ketiga: Penukaran undian dan/atau pengambilan hadiah di supermarket adalah di supermarket tempat Anda berbelanja. Setiap undian dan/atau hadiah yang ditawarkan kepada konsumen juga tercantum dalam katalog, spanduk dan struk secara jelas. Apabila ada syarat dan ketentuan tertentu, maka Anda dapat mengetahuinya secara jelas di bagian informasi di supermarket, situs resmi mereka atau struk (bila ada). Hadiah-hadiah berupa uang, barang elektronik dan barang berharga selalu diundi dan penyerahan/pengundiannya dilaksanakan di hadapan pihak-pihak dari Notaris, Kepolisian, dan Kementerian Sosial RI.

    Keempat: Promo yang mengatasnamakan jaringan pembayaran elektronik seperti Visa, MasterCard, Debit BCA, JCB, American Express, Discover, dsb., pasti diumumkan melalui situs resmi bank dan/atau situs resmi jaringan pembayaran elektronik masing-masing maskapai/penyedia.

    Kelima: Jangan terbuka soal saldo rekening dan/atau limit kartu belanja Anda. Hal ini juga perlu Anda jaga serapat-rapatnya bank menjaga saldo Anda. Saya juga mensinyalir hal ini jika dikaitkan dengan kegiatan hipnotis, maka Anda akan terhipnotis dan mendapat sugesti untuk mengambil sebagian dan/atau seluruh uang Anda di ATM. Secara halusnya, membelanjakan produk mereka yang sebetulnya tidak Anda perlukan.

    Keenam: Berani mengatakan dengan tegas dan persuasif kalimat "Tidak, terima kasih.” untuk promo yang tidak ingin Anda coba dan/atau ikuti.


    SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR ANDA