Tuesday, 03.19.2024,

Daftar Menu
Beri Rating
Rate my site
Total of answers: 7
Online

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0
Masuk
Kumpulan Postingan
Daftar Tulisan
  • Jangan Ngaku gaul kalau Ga punya Blog!
  • Remaja Indonesia dalam Percaya Dirinya, Nalarnya, Wawasannya dan Mimpi-mimpinya
  • Kunci Jawaban? Say No!
  • PNS: Pelayanan Buruk, Citra Makin Terpuruk
  • Waspada Metode Penipuan Baru Oknum Salesman Home Appliances!
  • Apa itu blog?
  • Search
    Calendar
    «  March 2024  »
    SuMoTuWeThFrSa
         12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31

    PNS: Pelayanan Buruk, Citra Makin Terpuruk


    Seminggu yang lalu, saya menjadi Juara II dalam Lomba Da�i Berbahasa Inggris untuk SMA se-Jakarta Selatan yang diselenggarakan oleh Suku Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Sudin Dikmenti) Walikota Jakarta Selatan. Sesuai ketentuan saat pengumuman pemenang, hadiah lomba dapat diambil pada Kamis, 6 Oktober 2011 di kantor Sudin di daerah Prapanca, Jakarta Selatan. Pukul 10.30, berangkatlah saya bersama dua orang kawan pemenang MTQ dan Sari Tilawah, serta seorang guru pembimbing.

    Setelah sampai di gedung Walikota, kami naik lift menuju lantai sebelas tempat kantor Sudin Dikmenti berada. Sebelum mengambil hadiah berupa amplop berisi uang dan sertifikat, saya diharuskan menandatangani beberapa dokumen dan tanda terima. Namun, saya tersentak melihat nama yang tertera di sertifikat bukanlah Melodya Apriliana, tetapi Melodya Aprilian S. Okay.. Huruf �A� dan �S� di QWERTY keyboard memang bersebelahan. Tapi kok bisa ngaco begini? Lalu, saya minta kepada pegawai yang mengurusi administrasi saya untuk memperbaiki nama di sertifikat tersebut. Beliau bilang, �Wah, susah itu, dek. Coba kamu tanya sama Ibu N. Itu tuh orangnya.� sambil menunjuk seorang Pegawai Negeri Sipil wanita berjilbab abu-abu.

    Setengah malas, saya hampiri si pegawai dan berkata, �Maaf, dengan Ibu N?�

    �Ya, ada apa?�

    �Maaf Bu, nama saya di sertifikat ini salah. Bisa tolong diganti, Bu?�

    Seperti tebakan saya, beliau bilang, �Susah. Orang yang bikin ini lagi nggak ada,� dan dilanjutkan dengan beberapa kalimat yang terkesan mempersulit keadaan. Lalu beliau menjauh menuju meja kerjanya, duduk dan memeriksa tumpukan dokumen. Meninggalkan saya yang masih memegang sertifikat dan kebingungan apakah permintaan sederhana saya akan ditindaklanjuti atau tidak.

    Saya adalah tipe orang yang sensitif soal interaksi dan komunikasi. Dan saya paling benci kalau ada orang yang memotong pembicaraan saya, atau pergi ninggalin saya gitu aja tanpa kejelasan. Dengan tekanan darah yang sudah mulai naik, saya hampiri guru saya dengan wajah masam. �Gimana, nak?� kata beliau. �Nggak tahu tuh, Pak. Kata Ibunya susah diurus. Nggak tahu mau dibenerin apa nggak. Terserah deh.�

    Saya memang sengaja bicara dengan nada setengah ketus dan ngambek khas anak kecil untuk memancing reaksi si pegawai. Merasa terpojok, Ibu N membalas dengan agak keras, �Ini lagi dicek nama-namanya biar dibenerin, dek. Makanya jangan ini dulu!� Saya nggak tahu apa yang beliau maksud dengan �ini�. Saya diam saja, dalam hati tersenyum miring. Nah, ternyata saya masih diladenin.

    Lama menunggu, Ibu N kemudian memanggil saya dan meminta Surat Keterangan (SK) dari sekolah sebagai rujukan untuk memperbaiki sertifikat saya. Saya bilang, saya cuma punya satu dan sudah diserahkan untuk mengambil hadiah. Ibu N menyuruh saya mengambil kembali SK saya dan bilang, �Fotokopi dulu, sana.� Okay, saya turuti permintaannya. Saya ambil SK di meja sebelah dan melangkah keluar ruangan. Sebelum saya sampai di pintu keluar, terdengarlah kalimat ketus yang jelas di kuping, �Bikin kerjaan aja!!!�

    Saya sempat berhenti sebentar, berusaha menahan gejolak amarah agar tak sampai ke mulut, dan mencegah kepala agar tak menoleh ke belakang untuk memberikan tatapan ala Suzanna ke Ibu N. Alhamdulilah, istigfar yang saya lafalkan dalam hati dapat menggerakkan kaki saya kembali menuju tempat fotokopi di seberang kantor.

    Selesai memfotokopi SK, saya kembali ke kantor Sudin dan menyerahkannya ke Ibu N. Saya bilang, nama saya di absen saat lomba memang sudah salah. Waktu itu saya sudah hampir mengkoreksinya, namun penerima absen bilang tidak usah. Ibu N menjawab, �Dari awal saya sudah bilang sama yang nerima absen supaya mengkoreksi kalo ada nama yang salah, jadi nggak kayak gini. Waktu itu yang nerima absen kamu siapa?� Kata saya, �Nggak tahu, Bu. Nggak kenal.�

    �Yaudah, sertifikatnya dibenerin dulu. Kalo sudah bener, nanti sekolah dihubungi. Kalo belum ada informasi, berarti belum jadi.� Kata Ibu N singkat. Saya respon dengan ucapan terima kasih dan mencium tangannya sebagai formalitas, agar saya tidak dianggap sebagai klien yang tidak sopan.

    Selama ini, saya sering lihat berita-berita kurang baik di media tentang kelakuan PNS-PNS negeri ini. Terutama setelah libur panjang. Ada yang sakit, izin dan mangkir tanpa keterangan. Ada pula yang keluar kantor di jam kerja. Tadinya, saya kurang begitu peduli dengan berita-berita macam itu. Namun setelah mengalami kejadian tadi, saya jadi tidak heran dengan citra PNS yang kian buruk di masyarakat.

    Sebagai orang yang senang menulis, saya tidak pernah main-main soal penulisan nama. Sebuah nama bisa dimiliki oleh banyak orang, oleh karena itu penting bagi siapapun untuk memperhatikan setiap detail nama, agar kemudian tidak menimbulkan kekeliruan. Saya tidak peduli akan dapat sertifikat atau tidak dari Sudin, toh sekolah juga membuatkan saya piagam. Masalahnya, ini menyangkut identitas saya di Walikota yang kedepannya pasti akan digunakan lagi. Saya �kan mau bantu mengoreksi, kok sepertinya dipersulit? Padahal itu hak dan kewajiban saya sebagai warga negara yang taat undang-undang.

    Pegawai Negeri Sipil sebagai pelaksana pelayanan publik, seharusnya betul-betul berorientasi pada pemenuhan hak masyarakat, bukan cuma kepentingan pribadi. Saya tahu, mungkin Ibu N sedang lelah setelah bekerja, saat saya minta beliau mengganti sertifikat saya siang kemarin. Tapi dari sisi saya sebagai konsumen, apakah saya akan peduli? Jelas tidak. Saya akan melihat Ibu N sebagai seorang yang berkewajiban memenuhi hak saya untuk mendapatkan sertifikat dengan nama yang benar. Lagipula, cuma mengganti nama, apa susahnya sih? Kalau memang niat melayani masyarakat, harusnya bisa diusahakan. Saya hanya minta huruf �S� di situ diganti menjadi �A� kok. Kalau harus menunggu lama juga nggak apa-apa. Dibanding ketepatan waktu, saya lebih menghargai sikap respek.

    Kalau sikap pelayan publik kita seperti ini, bagaimana negara ini mau sejahtera? Boro-boro sejahtera, hak-hak masyarakatnya saja tidak terpenuhi. Bahkan, masyarakat sendiri belum tentu tahu dengan jelas apa saja hak dan kewajibannya. Masyarakat bisa-bisa tidak akan percaya lagi pada negara untuk memenuhi kebutuhannya. Profesionalitas tidak melulu soal kecerdasan dan kedisiplinan. Tapi lebih penting lagi, dalam konteks pelayanan publik, respek dan peka terhadap konsumen.

    Mungkin Ibu N enggan melayani saya karena saya pelajar. KARENA SAYA CUMA PELAJAR. Sayang, beliau nggak tahu kalau saya tahu Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Beliau nggak tahu kalau saya bisa saja melapor ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atas perlakuan yang saya dapatkan kemarin. Dan sayang, beliau nggak tahu kalau gini-gini saya jurnalis, walau tidak expert. Tapi saya bisa memuat kejadian tadi di internet atau koran lho. Waspadalah, waspadalah!

    Referensi:

    [1] Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nurkholis Hidayat menyimpulkan buruknya pelayanan publik di DKI Jakarta dengan tiga kata yaitu, buruk, mahal, dan lama. "Buruk karena tidak ada standar minimum, mahal karena harus membayar lebih, boros karena tarifnya mahal, lama karena bertele-tele. Begitu lama bagi masyarakat miskin dan ini yang menyuburkan korupsi, calo-calo di Jakarta,” dalam jumpa pers bersama Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) di LBH Jakarta, Rabu (22/6). (Liputan6.com)

    [2] Pasal 4 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan: (a) kepentingan umum; (b) kepastian hukum; (c) kesamaan hak; (d) keseimbangan hak dan kewajiban; (e) keprofesionalan; (d) partisipatif; (e) persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; (f) keterbukaan; (g) akuntabilitas; (h) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; (i) ketepatan waktu; dan (j) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

    [3] Pasal 18 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: Masyarakat berhak: (a) mengetahui kebenaran isi standar pelayanan; (b) mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; (c) mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan; (d) mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan; (e) memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; (f) memberitahukan kepada Pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; (g) mengadukan Pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada Penyelenggara dan ombudsman; (h) mengadukan Penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina Penyelenggara dan ombudsman; dan (i) mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.

    [4] Pasal 19 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: Masyarakat berkewajiban: (a) mematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan dalam standar pelayanan; (b) ikut menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik; dan (c) berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.


    SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR ANDA